KPK Klarifikasi Istilah OTT
Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh mempertanyakan penggunaan istilah operasi tangkap tangan (OTT) dalam kasus Bupati Kolaka Timur (Koltim) Abdul Azis. Menanggapi hal itu, Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa OTT dilakukan ketika seseorang tertangkap saat atau sesaat setelah melakukan tindak pidana, atau ketika bukti ditemukan pada pelaku.
Asep menyebut penyelidikan kasus ini sudah dimulai sejak awal tahun dengan surat perintah penyelidikan (sprilindik), termasuk profiling dan pengumpulan data. Pada pertengahan Juli, KPK menemukan adanya peningkatan komunikasi terkait penarikan sejumlah uang, sehingga tiga tim dikerahkan ke Jakarta, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan.
Surya Paloh Minta Penjelasan Resmi
Sebelumnya, Surya Paloh menginstruksikan Fraksi NasDem di DPR untuk meminta Komisi III memanggil KPK guna membahas penggunaan istilah OTT. Menurutnya, terminologi tersebut perlu dipertegas agar publik tidak salah paham.
Ia mencontohkan, jika penangkapan dilakukan di lokasi berbeda berdasarkan pengembangan kasus, penyebutannya sebagai OTT harus jelas. Surya menilai penggunaan istilah yang tidak tepat dapat menimbulkan kebingungan dan tidak bijak dalam mendukung jalannya pemerintahan.
Dugaan Korupsi Proyek RSUD Koltim
Abdul Azis ditetapkan sebagai tersangka bersama empat orang lainnya dalam kasus dugaan korupsi pembangunan RSUD Kelas C Kabupaten Koltim senilai Rp 126,3 miliar.
Tersangka pemberi suap:
-
Deddy Karnady (DK), pihak swasta – PT PCP
-
Arif Rahman (AR), pihak swasta – KSO PT PCP
Tersangka penerima suap:
-
Abdul Azis (ABZ), Bupati Koltim
-
Andi Lukman Hakim (ALH), PIC Kemenkes untuk proyek RSUD
-
Ageng Dermanto (AGD), PPK proyek pembangunan RSUD Koltim
KPK mengungkap Abdul Azis meminta fee sebesar 8% atau sekitar Rp 9 miliar dari proyek tersebut.
Baca Juga: Bareskrim Gagalkan 30 Kg Sabu ke Kampung Bahari
Pasal yang Dikenakan
Untuk penerima suap, Abdul Azis, Andi Lukman Hakim, dan Ageng Dermanto dijerat Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 11, atau Pasal 12B UU Tipikor jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara pemberi suap, Deddy Karnady dan Arif Rahman, dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b, atau Pasal 13 UU Tipikor jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.