Kapal Batubara Dibajak di Laut Lepas
Tragedi itu terjadi Jumat, 25 Maret 2016, bertepatan dengan libur Paskah. Kapal Brahma 12 yang menarik tongkang Anand 12 bermuatan 7.500 metrik ton batubara dibajak faksi Abu Sayyaf. Aksi itu berlangsung di perairan Tawi-Tawi, Filipina Selatan, saat kapal berlayar dari Kalimantan Selatan menuju Filipina.
Para awak kapal ditawan selama 36 hari. Mereka harus bertahan hidup di bawah todongan senjata, berjalan melewati bukit, dan tidur di hutan. Selama itu pula, pemerintah Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo bersama Menlu Retno Marsudi menggelar diplomasi penuh untuk membebaskan para sandera.
Tim Khusus Dibentuk untuk Negosiasi Abu Sayyaf
Upaya pembebasan melibatkan banyak pihak, termasuk Surya Paloh yang mengirim tim khusus. Anggota tim di antaranya Mayjen (Purn) Supiadin Aries, Ahmad Baidhowi dari Yayasan Sukma Bangsa, akademisi UGM Dr. Rizal Panggabean, dan jurnalis Metro TV Desi Fitriani.
Baidhowi dan Rizal dipilih karena memiliki pengalaman riset tentang akar terorisme di Mindanao serta jaringan dengan akademisi, LSM, hingga tokoh Moro National Liberation Front (MNLF) Nur Misuari. Mereka memetakan siapa dalang penyanderaan dan akhirnya menemukan bahwa kelompok bernama Grand Alpha menjadi pihak yang menguasai para sandera.
Grand Alpha, Sang Pimpinan Misterius Abu Sayyaf
Grand Alpha digambarkan berusia 63 tahun, bertubuh kecil tapi kekar, berjanggut putih, serta selalu membawa pedang. Ia fasih berbahasa Melayu, Inggris, dan Arab. Selama komunikasi dua minggu, tak pernah muncul tuntutan tebusan uang.
Baidhowi menggunakan isu pendidikan sebagai pintu masuk negosiasi. Ia menekankan bahwa perjuangan sejati tak boleh mengorbankan masa depan anak-anak. Mindanao yang kaya sumber daya alam akan hancur tanpa generasi terdidik. Pandangan ini membuat Grand Alpha terdiam dan mulai mempertimbangkan sudut pandang baru.
Pendidikan Jadi Kunci Pembebasan
Pada 30 April 2016, Grand Alpha menghubungi Baidhowi. Ia setuju membebaskan para sandera. Permintaannya sederhana: 40 Al-Quran dari Indonesia, kopiah Aceh, bakpia, keripik tempe, serta perahu motor. Sebelumnya, tim juga mengirim telepon genggam dan kartu SIM untuk komunikasi.
Setelah pembebasan, Yayasan Sukma Bangsa melanjutkan komitmen dengan menyeleksi 200 anak suku Sulu. Dari jumlah itu, 30 anak dipilih untuk disekolahkan gratis di Aceh, termasuk biaya hidupnya.
Catatan dari Buku “Untold Story”
Kisah ini ditulis Fenty Effendy dalam buku Untold Story Pembebasan 10 ABK Indonesia di Kawasan Konflik. Buku setebal 219 halaman itu menggunakan gaya thriller, menjaga ketegangan dan menggambarkan dilema para negosiator.
Penerbitan buku oleh Kompas pada Agustus 2025 disebut sebagai bentuk dokumentasi resmi, bukan sekadar promosi. Direktur Yayasan Sukma Bangsa, Lestari Moerdijat, menyatakan buku ini mencerminkan perjalanan penuh keberanian, ketulusan, dan pengorbanan tanpa pamrih.
Baca Juga: Mahasiswi Tewas Tewas di Kos Ciracas, Remaja 16 Tahun Diamankan